Buku : Sejarah Kerajaan Tanah Bone (Masa raja pertama dan raja raja kemudiannya sebelum masuknya Agama Islam sampai terakhir)
Penulis: Andi Palloge Petta Nabba
Penerbit: Yayasan Al Muallim, Sungguminasa, 2006
Jumlah Halaman: xxii + 359
ISBN: 978-979-15712-0-3
Mungkin inilah buku sejarah tentang kerajaan Bone yang paling lengkap, paling mendetail dan yang paling menarik yang pernah saya baca. Buku yang ditulis oleh Andi Palloge Petta Nabba (almarhum, Al-Fatihan untuk beliau) pada tahun 1990 namun baru diterbitkan tahun 2006 lalu. Menurut penulisnya, ada 3 hal yang memotivasinya untuk menulis buku ini yaitu: 1. Motivasi Ilmu Pengetahuan, 2. Motivasi Sejarah, dan 3. Motivasi Pendidikan. Buku ini ditulis berdasarkan “Lontara” Kerajaan Bone, Surat “Selleang” atau “Galigo” yang berhubungan dengan sejarah Bone. Wawancara atau diistilahkan oleh penulis dengan “bertukar pikiran” dan “meminta keterangan” dengan/dari orang orang tua juga dilakukannya.
Terdiri dari 12 Bab (Bagian) dimana Bab 1 – 3 membahas Pendahuluan, Lontara La Toa, dan Riwayat Hidup Kajaolaliddong. Bab 4 adalah inti pembahasan, dimana dikisahkan semua Raja dan Ratu yang pernah memerintah kerajaan Bone dari awal terbentuknya kerajaan sampai Raja terakhir (Raja ke-33). Bab 5, tentang hubungan kerajaan Bone dengan kerajaan kerajaan lain di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Gowa, Wajo, Soppeng, Luwu, Tana Toraja, dan Mandar. Bab 6, memperkenalkan bekas ibukota kerajaan Bone. Selanjutnya bab 7 membahas tentang kasta kasta didalam kerajaan Bone. Bab 8, membahas tentang Lembaga lembaga Kerajaan Bone sejak abad ke-17; terbentuknya Ade’ Pitue, birokrasi keagamaan, serta Jennang (pelaksana tugas).
Bab 9, tentang Tatanan Birokrasi; mutasi pejabat pemerintahan, suksesi jabatan, susunan pemerintahan, dan sumber perekonomian. Bab 10, Perlawanan Rakyat Bone melawan Belanda. Bab 11, Perkembangan susunan Ketata-negaraan Kerajaan Bone yang terbagi dari 3 bagian, yaitu masa sebelum 1605, masa 1605 – 1905 dan masa 1905 – 1950. Bab 12 (terakhir) adalah bab Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Terakhir juga dicantumkan daftar pustaka dan Lampiran lampiran serta selembar kertas berukuran besar berisi Silsilah keluarga dari penulis.
Beberapa hal menarik dalam buku ini, misalnya pada Bab 3, tentang La Mellong Kajaolaliddong yang digelari “To Maccana Bone” (Cendekiawan Bone). Bukan hanya kisah hidupnya tetapi juga kata kata bijaknya yang dinasehatkannya kepada Raja Bone ke-6 : La Ulio Bote-E (1543-1560), juga dibahas. Tak hanya nasehat kepada Raja yang memerintah, nasehat dari La Mellong Kajaolaliddong juga ditujukan kepada pemangku adat, dan juga kepada rakyat. Intinya adalah Raja, pemangku adat, dan rakyat tidak boleh mengabaikan Pangngaderreng yang terdiri dari Ade’, Bicara, Rapang, dan Wari’.
Diantara 33 orang yang pernah memimpin Kerajaan Bone, 6 orang diantaranya adalah perempuan, dan salah satu diantara ke 6 perempuan itu ada yang menjadi Raja 2 kali, yaitu Bataritoja Datu Talaga Arung Timurung, sebagai raja ke-17(1714-1715) dan sekaligus raja ke-21 (1724 – 1749). Hebatnya lagi, Bataritoja ini pernah pula memimpin/berkuasa di Soppeng dan Luwu Dalam buku ini, meskipun pemimpinnya perempuan, tetap disebut Raja.
Kisah lainnya: Raja Bone ke-16, La Patau Matanna Tikka Matinroe ri Nagauleng (1696 – 1714) berkuasa selama 18 tahun, memiliki 2 orang Permaisuri. Permaisuri pertamanya adalah putri Datu Luwu yaitu Weummu Datu Larompong, dan satunya lagi adalah Permaisuri Imariama Karaeng Patukangang, putri Raja Gowa, Sultan Abdoel Jalil. Bukan hanya itu, raja Bone ke-16 ini juga memilik istri 18 orang selain ke-2 Permaisurinya.
Kerajaan Bone mengalami masa kacau ketika Raja Bone ke-8 : La Iccang To Lawa Matinroe ri Addennenna (1585 – 1596). Dari catatan Lontara diketahui bahwa sang raja berlaku sewenang wenang kepada rakyatnya, bahkan beberapa orang petinggi istana kerajaan Bone diperintahkannya untuk dibunuh. Sang raja juga bisa mengambil perempuan siapa saja, bahkan yang sudah bersuami sekalipun kalau dia mau. Puncaknya ketika dia membakar rumah rumah disekitar istana, dan membunuh siapa saja yang menghalangi. Sang raja karena kelelahan mengamuk akhirnya meninggal di tangga Istana. Tidak ada penjelasan, apakah mati karena kelelahan atau mati dibunuh.
Masih banyak kisah menarik dari para pemimpin kerajaan Bone yang pernah berkuasa. Sebagian besar raja raja itu menentang dan berjuang melawan penjajah Belanda, tapi sebagian lainnya cenderung bersahabat dan bekerjasama dengan pemerintah kolonial.
Buku ini bisa dibaca di Perpustakaan Abdurrasyid Daeng Lurang, DPK Sulsel di Sungguminasa, atau di perpustakaan lainnya di kabupaten kota. Anda yang tertarik mengkaji sejarah Bone, dan Sulawesi Selatan pada umumnya dapat menjadikan buku ini sebagai rujukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar