“Buat Temanku Suharman Musa, ‘Ketelitianmu kurindukan!’”
Itulah seuntai kalimat yang ditulis oleh pak Asdar Muis dibagian sampul dalam, buku Mata Air Peradaban, Memorial Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo yang disertai tandatangannya. Tidak banyak buku tulisan pak Asdar yang kumiliki, hanya 3 buah buku. Yang pertama adalah “Andi Muhammad Rum, Titisan Colliq Pujie”, yang kedua “Eksekusi Menjelang Subuh” dan yang ketiga “Mata Air Peradaban, Memorial Gubernur Syahrul Yasin Limpo”. Namun yang istimewa dan berkesan bagi saya adalah karena semua bukunya ditandatangani dan dibubuhi kalimat pesan untukku. Saya memang selalu berusaha memiliki tandatangan (signature) penulis/pengarang (author) dari buku koleksi saya. Setiap kali ada kesempatan ‘book signing’ saya akan berusaha mendapatkan buku yang bertandatangan. Di negara maju, buku yang ada tandatangan penulisnya memiliki ‘nilai’ lebih dibanding dengan buku yg tanpa tandatangan. Pada buku “Eksekusi Menjelang Subuh” yang dihadiahkan kepada saya ketika pertama kali berkenalan, beliau menggoreskan kalimat setelah tandatangannya, “Asdar Muis RMS, Mks 22 Maret 2012, buat Yth..Bapak Suharman, “Alhamdulillah aku senang Berteman.”
Saya sebenarnya belum lama berkenalan dan berinteraksi dengan pak Asdar Muis, meskipun saya sudah lama mengenal namanya sebagai seorang seniman dan penulis. Pertama kali bertemu muka pada 20 Agustus 2010. Pada hari itu adalah peluncuran dan bedah buku yang ditulisnya berjudul “Andi Muhammad Rum, Titisan Colliq Pujie”. Buku itu merupakan buku biografi mantan bupati Barru Andi Muhammad Rum. Peluncuran perdana buku tersebut dilaksanakan dikantor kami Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Prov. Sulsel di Tamalanrea. Sebagaimana biasanya, setiap kali peluncuran buku, maka akan dibagikan pula buku tersebut kepada peserta bedah buku. Sesaat setelah acara bedah buku selesai, saya dan beberapa peserta yang telah memiliki buku baru, mengelilingi pak Asdar untuk meminta tandatangannya dibuku tersebut. Karena banyak yang mesti ditandatangani, pak Asdar waktu itu hanya menulis namanya, tandatangannya dan tanggal hari itu. Kartu nama beliau juga dibagikannya, kartu nama berlatar belakang warna hitam dengan foto beliau dan tulisan “Komunitas Sapi Berbunyi” dan data pribadi beliau tertera dikartu itu.
Setelah acara bedah buku tersebut, saya tidak pernah bertemu lagi dengan pak Asdar, sampai dua tahun lamanya. Tahun 2010 itu pertama kali bertemumuka (face to face) dengan pak Asdar namun kami sama sekali tidak berbincang dan berkenalan. Baru kemudian pada tahun 2012 ketika kantor kami berkerjasama dengan beliau dalam rangka penerbitan buku memorial pak Gubernur Syahrul Yasin Limpo. Pak Asdar cukup sering kekantor kami dalam rangka membicarakan buku tersebut dan bertemu dengan pejabat struktural di kantor Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD). Pada suatu hari atasan saya pak H. Andi Ahmad Saransi yang sudah lama mengenal pak Asdar Muis, memperkenalkan saya kepada beliau. Pak Aji (panggilan kami kepada H. Andi Ahmad Saransi) mengatakan “ini pak Suharman Musa, staf kami disini, lulusan S2 dari luar negeri”. Sejak saat itu, kami sering berinteraksi akrab di jejaring sosial Facebook, dan juga beliau sering menelpon, atau sms atau lewat pesan di Facebook, menanyakan kepada saya jika ada kata kata asing yang kurang jelas baginya. Menurut saya, pak Asdar itu orangnya perfeksionis dalam hal penulisan, sehingga, setiap pilihan katanya, harus benar benar tepat dan benar benar dia pahami arti dan maknanya sebelum mengunggahnya (upload) di jejaring sosial. Terkadang malam hari ketika beliau sedang nongkrong di Kafe atau Warkop menulis, dia menelpon saya dan menanyakan makna dan pengertian suatu kata asing, terutama kata kata yang merupakan serapan dari bahasa Inggris. Ketika pak Asdar membuat fan page ‘Asdar Muis RMS Corner’ di Facebook saya juga langsung jadi anggota. Fan Page ini adalah kumpulan tulisan pak Asdar, baik yang bertema tanaman Herbal, kisah kehidupan, kritik sosial, renungan hidup ataupun cerita lucu antara bapak dan anak.
Interaksi kami lewat media sosial Facebook cukup intens. Terkadang tulisan yang sama muncul dua kali dalam akun Facebook saya, karena selain sebagai anggota fan page-nya, beliau juga seringkali men-tag (menandai) saya pada tulisan tulisannya. Hampir semua postingannya saya baca dan berusaha memberikan komentar. Terkadang, meskipun saya sudah berkomentar tulisannya, namun kami masih saja sering membahasnya lewat sms, chat atau telepon. Saya juga sering bertanya kepada beliau jika ada kata yang menurut saya salah penempatan, meskipun akhirnya pak Asdar-lah yang benar karena buku Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)-lah yang menjadi acuannya dalam menulis. Kosa kata baru (bagi saya) kadang kutemukan dalam tulisannya, dan biasanya saya akan buka dan mengonfirmasikan ke KBBI-ku. KBBI yang kumiliki adalah yang dalam format pdf. (buku elektronik).
Suasana saat Pameran Lukisan dan Patung dirumah pak Asdar Muis RMS.
Hal lain yang membuat kami sering berkomunikasi lewat jejaring media sosial dan telepon, karena kami mendukung calon presiden yang sama ketika Pemilihan Presiden yang baru lalu (Juni 2014). Ketika ada berita yang tidak benar dimedia sosial dan media daring lainnya tentang calon presiden dukungan kami, biasanya kami diskusikan baik lewat chatting atau sms. Hal lain yang membuat saya sering kontak dengan beliau adalah produk herbal. Dirumah beliau (yang disebutnya ‘rumahku panggungku’) juga berfungsi sebagai Apotek, dan cukup banyak obat herbal yang dijual. Saya juga sering membeli madu dari pak Asdar. Sebagai seorang yang ‘banyak tahu’ soal herbal dan istrinya juga sebagai apoteker, saya percaya kalau madu yang dijual di Apotek pak Asdar asli. Kalau saya pesan madu lewat sms atau chat Facebook, beliau akan mengantarkannya dikantorku. Kadang kadang anak perempuannya yang singgah mengantarkan madu. Pernah pula saya sendiri mengambil madu dirumah beliau di Sudiang.
Hanya sekali saya berkunjung kerumah beliau di Sudiang. Waktu itu bertepatan dengan diadakannya pameran lukisan dan patung dirumah pak Asdar. Karena beberapa kali foto lukisan dan suasana pameran dipajang di Facebook-nya, saya jadi tertarik untuk berkunjung, sekalian mengambil madu pesanan saya. Pameran rumahan yang mencoba memberikan wadah bagi para seniman Makassar dan sekitarnya untuk berkarya dan berpameran. Waktu itu cukup lama saya keliling perumahan itu mencari alamat, meskipun sebenarnya saya sudah lewati sebelumnya. Pak Asdar sendiri keluar menjemput dan memandu saya lewat telepon seluler. Hasil kunjungan saya ke Pameran Lukisan ini sudah kutulis untuk kuposting di blog-ku. (Lihat Pameran Lukisan Rumahan, pada bagian lain blog ini).
Masih tentang pertemanan kami di dunia maya lewat media sosial, suatu ketika saya berekperimen, mengganti aksara nama saya di akun Facebook dari aksara Latin ke Arab. Sesuatu yang kemudian kusesali, karena pak Asdar dan beberapa teman Facebook lainnya kemudian mengira saya keluar dari jaringannya atau mengira saya sudah tidak aktif lagi. Lewat telepon beliau menanyakan tentang hal itu dan saya jelaskan permasalahannya. Pak Asdar juga mengaku kesulitan untuk men-tag (menandai) nama saya kalau ada postingannya. Ketika saya akan mengembalikan aksara namaku ke Latin, ternyata Facebook menolaknya, karena katanya, baru saja diganti. Meskipun demikian, saya tetap dapat membaca semua tulisan tulisan beliau, meskipun namaku tidak di-tag. Tetapi seiring perjalanan waktu, dan karena seringnya saya memberi komentar pada postingannya, akhirnya pak Asdar mengenali akun Facebook-ku meskipun dalam aksara Arab sehingga interaksi kami tetap terjalin lancar.
Suatu malam ditanggal 27 Oktober lalu, beberapa menit lewat jam 00, saya terbangun dan membuka akun Twitter. Saat itu ada Twit dari seniman Butet Kertaredjasa yang saya follow berbunyi:
“Selamat jalan sahabatku Asdar Muis. Selamat memuisi disono. Ooh….siapa lagi yang bersedia menemani aku tamasya lidah di Makassar?” 12.51 27Oct2014 from Kasihan, Bantul.
Saya jadi berdebar dan panik, sayapun segera mengontak lewat sms atasan saya pak Haji Saransi menanyakan kebenaran beritanya, dan beliau mengiyakan. Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun.
Saya mengenal dekat dan berinteraksi dengan beliau hanya dua tahun, itupun 90 persen interaksinya di dunia maya, namun beliau meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Beliau tulus dalam berteman dan meskipun cukup terkenal di Sulawesi Selatan, namun beliau tetap rendah hati. Beliau tidak terlalu suka formalitas, misalnya tetap bercelana pendek dan berkaus (T-shirt) ketika menemui pak Gubernur dikantornya. Begitupula kalau menemui pejabat pejabat lainnya di Makassar. Namun begitulah pak Asdar. Sejak kepergiannya, beranda dan dinding Facebook-ku terasa sepi. Cukup banyak postingan yang muncul, namun jarang yang kualitas dan kuantitasnya seperti postingan pak Asdar. Satu hal yang saya kagumi dari postingan pak Asdar adalah bahwa beliau tak pernah salah tulis, meskipun satu huruf-pun. Pilihan katanya (diksi) tepat dan kalimatnya tersusun rapi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mungkin karena beliau juga wartawan.
Interaksi kami terakhirkali di jejaring sosial Facebook, ketika beliau memposting tentang kantuk yang melandanya saat mengikuti perkuliahan. Beliau sedang ikut kuliah S3 di Universitas Hasanuddin. Saat itu saya menginformasikan tentang ‘kopi lanang’ yang konon sangat kuat kafeinnya. Ada juga postingannya tentang ‘batu mulia’ yang memajang fotonya jemarinya mengenakan cincin berbatu mulia. Dua postingan inilah yang merupakan postingan terakhir beliau sebelum wafat.
Hari ini Selasa 11 November 2014, dua pekan sudah sejak kepergiannya, namun curahan hati anggota keluarganya, sahabatnya, kerabatanya dan orang orang yang mengenal beliau tetap mengalir di-akun Facebooknya. Kini tak ada lagi postingan dari pak Asdar, namun tulisan orang orang yang pernah mengenal beliau tetap menghidupkan akun facebooknya.
Bukan saya saja yang kehilangan beliau, institusi kami juga merasa kehilangan, karena beliaulah yang selalu menjadi narasumber setiap kali lembaga kami mengadakan pelatihan teknis penulisan. Ilmu pengetahuan tentang penulisan telah banyak tercurah kepada para peserta pelatihan dilembaga kami, terutama kepada para Pustakawan. Semoga amal jariyah yang ditinggalkannya bernilai pahala baginya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Paccinongan 11 November 2014
Catatan: Tulisan ini adalah bagian dari buku Obituary Asdar Muis RMS, yang diterbitkan untuk mengenang setahun wafatnya Asdar Muis RMS. Dari halaman 248 -254.
(Gambar: koleksi pribadi, harnas.co.,)