"Nawanawa" dalam bahasa Bugis yang artinya "isi pikiran, curahan hati, apa saja yang ada dalam benak, keadaan bathin dan perasaan......". Isi blog ini adalah apa saja yang ada didalam pemikiran saya, berbagai pengalaman saat melakukan perjalanan, hal hal kecil dalam kehidupan sehari hari. Ada juga beberapa artikel saya terjemahkan dari artikel berbahasa Inggris. "I write because I don't know what I think until I read what I say" -Flannery O'Connor
Wisata Kuliner Yogyakarta
Kota Yogyakarta termasuk salah satu kota yang serius mengelola tujuan wisata kulinernya. Berbagai ragam kreasi makanan dikemas dan diinformasikan kepada para pengunjung atau turis yang datang ke Yogyakarta. Dihotel atau penginapan, selalu tersedia brosur wisata kuliner secara lengkap, selain brosur tujuan wisata lainnya. Wisatawan yang baru berkunjung ke Yogyakarta juga tidak perlu terlalu takut tersesat, karena begitu banyak tersedia map atau peta kota Yogyakarta yang dibagikan secara gratis. Bukan hanya dihotel kita bisa mendapatkan map atau peta secara gratis tetapi juga di toko toko batik dan toko souvenir lainnya.
Kuliner Yogyakarta yang paling terkenal adalah Gudeg yang bahkan melekat namanya sebagai Kota Gudeg. Jenis kuliner lainnya yang banyak dijumpai antara lain:
Wedang Ronde
Wedang ronde merupakan minuman tradisional yang berasal dari Jawa. Wedang berarti minuman. Wedang Ronde adalah seduhan air jahe yang berisi bola bola yang disebut ronde. Minuman ini biasanya disajikan dengan kacang sangrai, kolang kaling dan potongan roti didalam minuman tersebut.
Kipo
Jenis makanan ini terbuat dari tepung beras, kelapa, dan gula merah. Rasanya lezat. Beras ketan dibentuk lonjong kecil kecil kemudian diisi dengan parutan kelapa yang telah dicampur dengan gula merah. Setelah dikukus, Kipo kemudian dibakar agar menghasilkan rasa yang lebih beragam. Bentuk dan penyajiannya yang unik, membuat kipo menjadi makanan yang unik.
Bakpia Pathuk
Bakpia adalah makanan yang terbuat campuran kacang hijau dan gula yang dibungkus dengan kulit yang terbuat dari tepung kemudian dipanggang. Isi bakpia bervariasi, dan bukan hanya kacang hijau. Ada bakpia isi keju, coklat, kacang hijau, kumbu hitam dll.
Yangko
Makanan khas Yogyakarta yang terbuat dari tepung ketan. Berbentuk kotak dengan baluran terigu, kenyal dan rasanya manis. Rasa aslinya, Yangko berisi kacang cincang dan gula. Selain rasa aslinya, Yangko juga bervariasi rasanya, misalnya rasa strawberry, durian dan melon.
Angkringan
Angkringan berasal dari bahasa Jawa, “Angkring” yang berarti duduk santai. Angkringan adalah sebuah gerobak dorong yang menjual berbagai jenis makanan dan minuman yang biasa terdapat pada setiap ruas jalan kota Yogyakarta. Makanan yang dijual antara lain: nasi kucing (porsinya kecil), gorengan, sate usus ayam, sate telur puyuh, krupuk dll. Minuman yang dijual beraneka ragam, misalnya teh, jus jeruk, kopi, wedang jahe, susu dan semuanya dengan harga terjangkau.
Gudeg
Gudeg adalah makanan khas yang paling terkenal di Yogyakarta. Makanan ini berbahan utama buah nangka. Banyak restoran dan warung kecil yang menjual dihampir semua ruas jalan di Yogya. Gudeg ini sekarang bukan hanya dimakan ditempat, tapi bahkan bisa dijadikan oleh oleh dan biasanya dijual dengan wadahnya sekaligus. Kata penjualnya tahan sampai 3 hari. Didekat bandara Adisucipto ada penjual gudeg untuk oleh oleh. Saya pribadi kurang menyukai makanan ini, karena rasanya terlalu manis.
Ayam Goreng
Ayam Goreng, bebek goreng, burung dara goreng dan ikan goreng adalah hidangan yang banyak dijumpai dimalam hari di jalan Malioboro dan dijual diwarung warung lesehan.
Brongkos
Brongkos adalah makanan tradisional Yogyakarta yang merupakan warisan leluhur orang Yogya. Warnanya coklat kehitaman terdiri dari kacang, tahu, telur atau daging sapi yang sangat kaya citarasa rempah rempah sehingga sangat menarik minat para penikmat kuliner khas Yogya.
Oseng Mercon
Oseng oseng Mercon merupakan makanan dengan cara pengolahan ditumis yang terdiri dari potongan daging sapi dan bumbu cabe rawit yang banyak, sehingga rasanya cukup atau sangat pedas. Yang cukup terkenal tempat Oseng Mercon adalah yang ada di Jl. KHA Dahlan. Disini cukup banyak warung yang menyediakan oseng oseng Mercon.
Kupat Tahu
Kupat tahu adalah penganan yang terbuat dari campuran ketupat, tahu, tauge, yang ditaburi dengan bumbu kacang yang khas. Mungkin kalau didaerah lain di Indonesia, mirip dengan gado gado.
Bakmi Jawa
Bakmi Jawa atau Mie Jawa adalah bakmi rebus atau goreng yang dimasak dengan bumbu khas. Bakmi Jawa dimasak dengan telur bebek diatas bara arang sehingga rasa, aroma dan teksturnya khas. Dihidangkan dengan taburam bawang merah goreng, dan biasanya dijajakan pada malam hari.
Lotek
Makanan ini merupakan rebusan sayuran segar yang disiram bumbu dan sambal kacang. Bahan sambalnya selain sambal sendiri adalah tempe, kacang dan terasi, gula merah dan bawang putih. Sering dihidangkan dengan lontong atau sepiring nasi hangat serta kerupuk dan bawang goreng.
Apa yang bisa dipetik dari informasi ini, adalah semestinya semua daerah, baik kota, kabupaten, provinsi membuat semacam peta kuliner masing masing dan menginformasikan kepada setiap pengunjung baik lewat internet, publikasi (brosur, leaflet, booklet,dll) sehingga setiap kali kita mengunjungi suatu daerah, tidak lagi repot mencari tempat makan. Dan yang terpenting juga, ada informasi ttg bahan manakanan termasuk HALAL tidaknya.
Sumber: "Brosur Wisata Kuliner" yang diterbitkan oleh Tourism and Culture Office Yogyakarta City Government.
Sumber gambar: dari google antara lain,foodspotting.com, culinarytravlerz.com, abndungpanduanwisata.com, resepmasakandanduniaibu.com, wikipedia.org, resepmasakanterbaru.com, klenextravel.com, resepmasakanbunda.com, angkringansekoneng.blogspot.com, kabarkuliner.com, kuliner.panduanwisata.com, wonderful.tourism.blogspot.com.
Label:
Angkringan,
Ayam Goreng,
Bakmi Jawa,
Brongkos,
Gudeg,
Kipo,
Kupat Tahu,
Lotek,
Makanan Khas Yogyakarta,
Oleholeh,
Oseng Mercon,
Wedang Ronde,
Wisata Kuliner,
Yangko,
Yogyakarta
Saya Suharman Musa, seorang ASN, Pustakawan, suka menulis di Blog, suka jalan jalan, suka dengan hal hal berhubungan dengan buku, bookmark, postcard, dan perpustakaan....
Candi Borobudur, Candi Terbesar Di Dunia
Pada akhir November lalu (2013), saya dan rekan sekantorku berkesempatan berkunjung ke candi Borobudur, candi Budha yang merupakan candi terbesar didunia. Saya sendiri telah berkunjung ke candi ini sebelumnya yaitu tahun 1998, dan kali ini merupakan yang kedua kalinya. Sementara sebagian besar anggota rombongan saya, baru pertama kali mengunjungi candi yang pada tahun 1991 dikukuhkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia ini. Dari Yogyakarta kami menyewa mobil mini van yang bisa memuat kami 11 orang. Jaraknya sekitar 40 km dari Yogyakarta dan ditempuh ±1,5 jam. Sepanjang perjalanan kami menyaksikan banyak sawah menghijau, pusat pusat kerajinan Batik dan kulit, juga banyak restoran dan penjual buah serta cenderamata.
Candi Borobudur terletak di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi ini terletak ±269 m diatas permukaan laut dan dikelilingi oleh beberapa gunung seperti Gunung Sundoro, Sumbing, Merbabu dan Merapi. Juga ada perbukitan Tidar dan Menoreh. Candi Borobudur berbentuk stupa dan didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana, pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Arsiteknya bernama Gunadharma. Para ahli memperkirakan candi ini mulai dibangun pada tahun 770 M dan selesai pada tahun 825 M.
Bentuk bangunannya adalah susunan jutaan batu andesit yang dibuat berundak undak. Bagian dasar candi ada 6 tingkat pelataran berbentuk bujursangkar, tetapi pada bagian atas, pelatarannya berbentuk lingkaran yang bersusun tiga sebelum sampai ke stupa utama. Pada dinding candi, terdapat ribuan relief indah atau ukiran timbul yang menceritakan kisah kisah tertentu dari naskah suci umat Buddha. Saya perkirakan ada ribuan relief batu berukir di candi Borobudur, ada ukiran orang, laki dan perempuan, lengkap denga perhiasan dan pakaian, tanaman/ pohon pohon dan hewan, rumah dan kapal juga ada. Tujuan utama pembangunan candi ini adalah sebagai tempat suci umat Buddha dan sekaligus tempat berziarah, sesuai ajaran Buddha.
Para pakar sejarah dan arkeologi memperkirakan bahwa candi ini mulai ditinggalkan pada abad ke 14 (tahun 1300an) karena pada masa itu pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha mulai melemah seiring dengan masuknya Islam di pulau Jawa. Selama kurang lebih 5 abad, candi ini terbengkalai, dan dilupakan orang. Orang orang pada masa sebelum abad ke 19, hanya mengetahui bahwa di Magelang ada bukit yang penuh dengan batu batu berukir, dan beberapa arca dan stupa. Barulah pada tahun 1814 saat Sir Thomas Stanford Raffles menjadi Letnan Gubernur Inggris yang ditugaskan di Pulau Jawa menemukan kembali dan memerintahkan pemulihan, pemugaran, pembersihan dan pemeliharaan candi ini. Sejak ditemukan kembali, candi ini dibersihkan dari timbunan selama dua bulan dengan bantuan sekitar 200an orang penduduk lokal.
Sejak ditinggalkan, candi ini juga sering dilanda gempa bumi, sehingga banyak arca dan stupa yang runtuh berserakah. Dampak letusan Gunung Merapi yang tidak jauh dari candi ini juga turut merusak dan menghancurkan sebagian bangunan, termasuk juga tumbuhan menjalar yang banyak tumbuh liar diberbagai tempat di pelataran candi. Selain itu, penjarahan, pencurian arca dan stupa, atau pemberian kepada raja diluarnegeri juga pernah terjadi diera kolonial, sehingga semakin rusak dan berkurang material candi. Konon, banyak kolektor diluarnegeri termasuk kolektor pribadi yang memburu arca dari Borobudur. Bahkan diera modern sekalipun, candi ini pernah menjadi sasaran peledakan bom pada tahun 1985 oleh kelompok ekstremis yang tidak bertanggungjawab, dan otak pelakunya telah dihukum penjara seumur hidup.
Setelah dua kali pemugaran secara besar besaran maka tampaklah Candi Borobudur sebagaimana yang kita lihat sekarang ini. Pemugaran pertama saat pertama ditemukan kembali tahun 1814, dan pemugaran kedua, tahun 1975 – 1982 atau bantuan UNESCO. Pemugaran kedua ini adalah pemugaran besar besaran, dengan bantuan keuangan dari berbagai negara donatur internasional.
Sekarang ini bencana alam adalah hal yang menghawatirkan bagi candi Borobudur. Gempa 6,2 skala Richter yang melanda pesisir selatan Jawa tahun 2006 yang cukup kuat dan untungnya candi Borobudur cukup kuat sehingga tidak berdampak kerusakan yang berarti. Namun ketika gunung Merapi meletus pada Oktober dan November 2010 lalu, cukup berdampak pada candi Borobudur. Debu vulkanik yang berasal dari letusan gunung Merapi menutupi semua permukaan candi setebal 2,5 cm. Jarak dari gunung Merapi ke candi Borobudur sekitar 28 km, namun dampak letusan sangat kuat. Untuk pembersihan debu vulkanik ini, candi Borobudur ditutup selama beberapa hari pada bulan November. Diperkirakan oleh para ahli bahwa letusan gunung Merapi juga yang telah menimbun candi ini sehingga ratusan tahun tertimbun tanah dan tidak diketahui orang.
Sampai sekarang, candi Borobudur masih digunakan untuk acara ritual keagamaan Buddha misalnya pada perayaan Trisuci Waisak secara nasional. Terkadang juga dijadikan tempat pementasan sendratari dan pertunjukan kesenian lainnya. Sekarang ini, candi Borobudur menjadi andalan pariwisata Provinsi Jawa Tengah dengan banyaknya kunjungan turis baik domestik maupun mancanegara.
Namun ada sesuatu yang menurut saya agak mengganggu kenyamanan pengunjung, yaitu banyaknya pedagang asongan dipintu masuk dan lebih lebih dipintu keluar. Mereka, terutama yang berjalan menjajakan dagangannya, terkesan memaksa pengunjung untuk membeli dagangannya. Mungkin pengelola harus lebih menertibkan pedagang asongan ini.
Disarikan dari berbagai sumber di internet diantaranya wikipedia, postlicious.com, brosur tercetak pariwisata candi Borobudur yang diterbitkan oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan & Ratu Boko (Persero). Sumber gambar: koleksi Pribadi dan postlicious.com dan juga wikipedia.org
Candi Borobudur terletak di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi ini terletak ±269 m diatas permukaan laut dan dikelilingi oleh beberapa gunung seperti Gunung Sundoro, Sumbing, Merbabu dan Merapi. Juga ada perbukitan Tidar dan Menoreh. Candi Borobudur berbentuk stupa dan didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana, pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Arsiteknya bernama Gunadharma. Para ahli memperkirakan candi ini mulai dibangun pada tahun 770 M dan selesai pada tahun 825 M.
Bentuk bangunannya adalah susunan jutaan batu andesit yang dibuat berundak undak. Bagian dasar candi ada 6 tingkat pelataran berbentuk bujursangkar, tetapi pada bagian atas, pelatarannya berbentuk lingkaran yang bersusun tiga sebelum sampai ke stupa utama. Pada dinding candi, terdapat ribuan relief indah atau ukiran timbul yang menceritakan kisah kisah tertentu dari naskah suci umat Buddha. Saya perkirakan ada ribuan relief batu berukir di candi Borobudur, ada ukiran orang, laki dan perempuan, lengkap denga perhiasan dan pakaian, tanaman/ pohon pohon dan hewan, rumah dan kapal juga ada. Tujuan utama pembangunan candi ini adalah sebagai tempat suci umat Buddha dan sekaligus tempat berziarah, sesuai ajaran Buddha.
Para pakar sejarah dan arkeologi memperkirakan bahwa candi ini mulai ditinggalkan pada abad ke 14 (tahun 1300an) karena pada masa itu pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha mulai melemah seiring dengan masuknya Islam di pulau Jawa. Selama kurang lebih 5 abad, candi ini terbengkalai, dan dilupakan orang. Orang orang pada masa sebelum abad ke 19, hanya mengetahui bahwa di Magelang ada bukit yang penuh dengan batu batu berukir, dan beberapa arca dan stupa. Barulah pada tahun 1814 saat Sir Thomas Stanford Raffles menjadi Letnan Gubernur Inggris yang ditugaskan di Pulau Jawa menemukan kembali dan memerintahkan pemulihan, pemugaran, pembersihan dan pemeliharaan candi ini. Sejak ditemukan kembali, candi ini dibersihkan dari timbunan selama dua bulan dengan bantuan sekitar 200an orang penduduk lokal.
Sejak ditinggalkan, candi ini juga sering dilanda gempa bumi, sehingga banyak arca dan stupa yang runtuh berserakah. Dampak letusan Gunung Merapi yang tidak jauh dari candi ini juga turut merusak dan menghancurkan sebagian bangunan, termasuk juga tumbuhan menjalar yang banyak tumbuh liar diberbagai tempat di pelataran candi. Selain itu, penjarahan, pencurian arca dan stupa, atau pemberian kepada raja diluarnegeri juga pernah terjadi diera kolonial, sehingga semakin rusak dan berkurang material candi. Konon, banyak kolektor diluarnegeri termasuk kolektor pribadi yang memburu arca dari Borobudur. Bahkan diera modern sekalipun, candi ini pernah menjadi sasaran peledakan bom pada tahun 1985 oleh kelompok ekstremis yang tidak bertanggungjawab, dan otak pelakunya telah dihukum penjara seumur hidup.
Setelah dua kali pemugaran secara besar besaran maka tampaklah Candi Borobudur sebagaimana yang kita lihat sekarang ini. Pemugaran pertama saat pertama ditemukan kembali tahun 1814, dan pemugaran kedua, tahun 1975 – 1982 atau bantuan UNESCO. Pemugaran kedua ini adalah pemugaran besar besaran, dengan bantuan keuangan dari berbagai negara donatur internasional.
Sampai sekarang, candi Borobudur masih digunakan untuk acara ritual keagamaan Buddha misalnya pada perayaan Trisuci Waisak secara nasional. Terkadang juga dijadikan tempat pementasan sendratari dan pertunjukan kesenian lainnya. Sekarang ini, candi Borobudur menjadi andalan pariwisata Provinsi Jawa Tengah dengan banyaknya kunjungan turis baik domestik maupun mancanegara.
Namun ada sesuatu yang menurut saya agak mengganggu kenyamanan pengunjung, yaitu banyaknya pedagang asongan dipintu masuk dan lebih lebih dipintu keluar. Mereka, terutama yang berjalan menjajakan dagangannya, terkesan memaksa pengunjung untuk membeli dagangannya. Mungkin pengelola harus lebih menertibkan pedagang asongan ini.
Disarikan dari berbagai sumber di internet diantaranya wikipedia, postlicious.com, brosur tercetak pariwisata candi Borobudur yang diterbitkan oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan & Ratu Boko (Persero). Sumber gambar: koleksi Pribadi dan postlicious.com dan juga wikipedia.org
Label:
Candi,
Candi Borobudur,
Jawa Tengah,
Magelang,
Pariwisata,
Pariwisata Jawa Tengah,
Sir Thomas Stanford Raffles,
Yogyakarta
Saya Suharman Musa, seorang ASN, Pustakawan, suka menulis di Blog, suka jalan jalan, suka dengan hal hal berhubungan dengan buku, bookmark, postcard, dan perpustakaan....
Nostalgia Musim Mangga Di Kampung
Suatu hari diawal Desember 2013 saat pulang kantor, saya singgah untuk membeli mangga ditepi jalan disekitar Samata, Sombaopu, Gowa. Entah apakah lagi musim atau bukan, akhir akhir ini banyak penjual mangga ditepi jalan jalan di Makassar. Mungkin didaerah lain juga demikian di seluruh Indonesia, karena sewaktu saya dan beberapa teman ke Yogyakarta, disana juga banyak mangga dijajakan ditepi jalan. Di Makassar dan Gowa dimana mana dipinggir jalan terdapat penjual mangga. Hanya saja kalau saya perhatikan, sepertinya hanya satu atau dua dan paling banyak tiga jenis mangga yang dijual, yaitu mangga yang bentuknya agak lonjong memanjang, dan bagian dekat tangkainya berwarna kekuning kuningan. Saya tidak melihat banyak jenis mangga lain yang dijual. Saya memperkirakan, sumber asal mangga ini berasal dari satu perkebunan entah dimana.
Tumpukan mangga ditepian jalan itu mengngatkan saya pada era 1980an saat saya masih sekolah di SD dan SMP di Palattae, Bone bagian Selatan, Sulawesi Selatan. Kalau musim mangga tiba, kami biasa pergi mencari mangga pada malam hari. Biasanya malam hari banyak mangga yang jatuh. Terkadang dijatuhkan oleh kelelawar (kalong) atau jatuh sendiri karena sudah sangat matang atau karena tertiup angin kencang. Bahkan saat gelap gulita sekalipun, kalau angin bertiup kencang, dan buah mangga berjatuhan dan menimpa atap seng rumah rumah penduduk, kami juga biasa turun mencarinya dengan menggunakan senter atau lampu minyak. Pada malam hari kami bertiga atau berempat membawa lampu senter atau obor atau lampu minyaktanah. Mencari mangga dimalam hari disebut ‘massulo fao’ yaitu menyusuri pohon pohon mangga dimalam hari yang kami tahu banyak buahnya. Terkadang kami bisa membawa pulang satu karung mangga yang masak maupun yang masih mengkal.
Dulu di Palattae, didepan rumah saya adalah rumah pak Sultan Ahmad seorang guru SD di Cakkela, persis dibelakang rumah pak Ahmad ini, ada pohon mangga yang dinamai ‘fao galongkong’ atau Mangga Galongkong. Entah darimana nama aneh itu diberikan, tapi sejak saya meninggalkan Palattae, saya belum pernah menemukan mangga seperti itu ditempat lain, baik di Sulawesi Selatan, di Indonesia maupun diluarnegeri. Mangga ini warna kulitnya hijau keputihan saat masih muda, dan hanya sedikit kekuningan saat matang. Rasanya sama sekali tidak kecut, meskipun masih muda, dan saat matang rasanya menjadi tidak terlalu manis. Mangga ini paling enak saat masih mengkal, karena untuk dibikin rujak atau salad buah. Ukurannya buahnya lebih besar dari rata rata jenis mangga lainnya.
Di Palattae waktu itu ada berbagai jenis mangga, yang tidak pernah saya temui ditempat lain. Ada yang namanya ‘fao bolong’ (mangga hitam) yang rasanya agak manis manis kecut kalau matang dan kulitnya hijau kehitam hitaman, meskipun sudah sangat matang warnanya tetap hijau kehitaman. Aroma mangga ini khas, harum saat sudah matang. Pohon mangga jenis ini ada tumbuh di dekat sumur Kanneng ditepi sungai dibelakang rumahku. Jenis mangga ini cukup banyak di Palattae waktu itu. Ada jenis mangga ‘fao lando’ ukuran buahnya agak kecil kecil, sedikit lebih besar dari buah kedondong, rasanya pun sangat manis dan aromanya harum saat matang. Ada juga jenis mangga ‘fao baku’ yang tumbuh disamping rumah pak Lannai, guru mengajiku waktu itu. Daging buah mangga ‘fao baku’ ini sangat berserat sehingga meskipun sudah matang, tidak mudah tersayat meskipun dengan pisau tajam sekalipun. Malah lebih enak kalau sudah matang, buah mangga ini diremas remas sampai lunak lalu dilubangi bagian bawahnya dan kemudian diisap, rasanya seperti minum jus mangga. Ada juga jenis mangga yang namanya ‘fao syusho’ bentuknya kecil kecil bulat, yang paling besar paling sebesar buah kedondong, meskipun sudah matang. Jenis mangga ini banyak dijual dipasar Palattae yang masih mentah, biasanya dibikin rujak atau racak rajak mangga (semacam lalapan).
Kemudian ada mangga ‘macang’ yang banyak pohonnya tumbuh di Palattae bahkan dihalaman rumahku dan ditepi jalan banyak tumbuh. Yang paling khas dari jenis mangga ‘fao macang’ ini adalah baunya yang menyengat kalau sudah matang. Baunya hampir sama menyengatnya dengan aroma bau buah durian, sehingga terkadang susah disembunyikan. Karena saking menyengat aromanya, meskipun satu biji saja yang disimpan, aromanya bisa tercium seisi rumah. Ada yang mengatakan inilah rajanya mangga. Ciri khas lainnya dari buah ini adalah kulit buahnya yang tebal, mungkin kulit mangga yang paling tebal.
Saya teringat puluhan tahun lalu kalau pulang dari kampung kembali ke Makassar, dengan kendaraan umum, kalau ada penumpang yang membawa mangga macang, biasanya akan banyak penumpang yang pusing dan muntah muntah dalam perjalanan. Jenis mangga ini jarang saya temukan di Makassar dan sekitarnya. Di daerah Samata (Gowa) pernah saya lihat dijual dilapak dipinggir jalan.
Di Sydney, di Paddy’s Market, saya melihat hanya sedikit jenis mangga. Yang masih saya ingat mangga Kensington dan mangga Calipso. Ukuran buahnya lebih besar dari rata rata buah di mangga di Indonesia. Warna kulitnya saat matang hijau tua dan bagian atasnya merah tua. Rasanya cukup manis.
Sumber Gambar:khalidabdullah.com, allimagesphotos.com,id.wikipedia.org., cni.sidoarjo.blogspot.com, bangjotours.com
Label:
aroma mangga,
Bone,
Kahu,
kampung,
mangga,
Palattae,
spesies mangga
Saya Suharman Musa, seorang ASN, Pustakawan, suka menulis di Blog, suka jalan jalan, suka dengan hal hal berhubungan dengan buku, bookmark, postcard, dan perpustakaan....
Terdampar di Kota Metropolitan Jakarta
Kejadian ini saya alami sekitar tahun 2009 lalu saat saya ditugaskan oleh kantor untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di Jakarta. Saya menggunakan kata ‘terdampar’ meskipun kurang tepat, tetapi suasana bathin saya saat itu bagaikan orang yang terdampar disuatu pulau ditengah samudra dan tak tahu apa yang mesti dilakukan. Baru pertama kali saya mengalami kejadian seperti itu di Indonesia, negeri saya sendiri. Selama dua setengah tahun saya bermukim di Sydney, Australia namun tak sekalipun saya mengalaminya. Di Sydney, segalanya nampak jelas, petunjuk jalan, dimana kita berada, dan saya tidak pernah merasa khawatir akan terjadinya tindak kekerasan, penipuan, hipnotis dll.
Selesai diklat hari itu, saya seharusnya sudah harus kembali ke Makassar, tapi karena tiket pesawat yang kupegang masih tersisa dua hari, jadi kuputuskan untuk menikmati ibukota Jakarta. Kupikir kapan lagi, toh paling hanya sekali dalam setahun saya ditugaskan oleh kantor untuk urusan dinas ke Jakarta. Akhirnya kutelpon seorang teman, namanya Hal Sebastian yang dulu sama sama kuliah di UNSW Australia yang sekarang bekerja di Jakarta. Singkat cerita, sepulang kerja saya pun dijemput olehnya ditempat yang telah kami sepakati bersama dan dengan taksi kami ke apartemennya, karena dia tinggal di apartemen, dilantai 15 dikawasan Kuningan yang mewah.
Rencananya saya akan menginap dua malam di tempatnya sebelum terbang ke Makassar.
Sore dan malam hari kami jalan jalan disekitar apartemennya yang dipenuhi dengan pusat pusat perbelanjaan dan restoran mahal, sambil terus ngobrol mengenang saat kuliah di Sydney dulu. Berbagai topik kami obrolkan, mulai dari karier masing masing, kesehatan, keluarga, teman teman kuliah dulu, sampai kehidupan dikota metropolitan Jakarta dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Pagi harinya, ketika temanku ini akan menuju tempat kerjanya, saya pun keluar untuk jalan jalan sendiri. Tidak mungkin saya menunggunya di apartemen sampai dia pulang disore hari. Kami sepakat untuk saling kontak pada sore hari sepulang dia kerja. Kuputuskan untuk ke Pasar Festival, kemudian menggunakan Bus Trans Jakarta saya akan berkunjung ke tempat lain dan rencana akan mengambil rute bus yang sama untuk kembali lagi ke Pasar Festival. Tujuanku keluar adalah untuk membeli oleh-oleh untuk keluarga dan teman-teman kantor. Sebagai orang yang tinggal dikota kecil, Jakarta bagi saya tetap kota Metropolitan yang luarbiasa besar dan sekaligus agak kacau sebagian lalulintasnya.
Sore hari ketika acara belanja oleh-oleh selesai saya menuju apartemen teman. Hal Sebastian menelpon saya bahwa dia sudah ada diapartemennya, jadi saya jalan kaki dari Pasar Festival yang berjarak sekitar 1,5 km. Cukup jauh sebenarnya, tapi kupikir saya mau menikmati dan mengamati bagaimana kehidupan para penghuni apartemen, karena untuk sampai ke unit teman, saya mesti melewati taman taman dan jalan setapak yang teratur rapi diantara gedung gedung apartemen yang menjulang tinggi. Banyak pertanyaan dalam hatiku. Apakah yang tinggal di apartemen itu ada juga yang berkeluarga? Atau hanya yung bujangan saja? Setahu saya, di Sydney, hanya pelajar dan pekerja yang masih bujangan yang banyak menghuni apartemen. Orang orang yang sudah berkeluarga lebih memilih tinggal di rumah. Bagaimana kehidupan sosial mereka? Apakah mereka juga saling kenal dan biasa ngobrol dengan tetangga apartemennya? Atau semua saling tak peduli?
Ketika sudah hampir tiba di unit teman, secara tiba tiba telpon selularku mati, sementara chargernya ada dikamar apartemen teman. Saya tiba tiba dilanda panik. Bagaimana saya mesti menghubungi Hal? Apa yang mesti saya lakukan? Apakah dilantai dasar apartemen ada telepon untuk menghubungi penghuninya? Saya tidak tahu nomor unitnya, kecuali bahwa dia di lantai 15. Rencana mau menelpon dia dengan meminjam telepon orang lain atau Satpam dilantai dasar, tapi kemudian saya tidak hapal nomornya. Bingung! Belum lagi barang bawaan saya beberapa kantong pakaian oleh-oleh. Saya tetap melanjutkan perjalanan sampai lantai dasar. Kutanyakan seorang Satpam, bagaimana cara menghubungi seorang teman yang tinggal dil lantai 15 diatas, tapi kemudian saya tidak tahu nomor unitnya. Susah! Benar benar bingung. Saya memang tidak pernah mencatat dibuku nomor telepon seseorang. Semua tersimpan di ponsel-ku. Ponsel bagiku bukan sekedar alat komunikasi, tetapi juga buku alamat, buku telepon, jam, pemutar musik, camera, dan beberapa fungsi lainnya.
Akhirnya saya memutuskan kembali ke Pasar Festival jalan kaki sejauh 1,5 km sambil tetap membawa kantongan barang belanjaan saya. Berbagai pemikiran merasuki benak saya, misalnya, penipuan, perampokan, hipnotis dan lain lain, tapi kemudian saya berusaha tenang. Saya meyakinkan diri, bahwa Jakarta tidak sekejam yang dilihat di TV atau koran koran. Tetap berpikir positif, meski khawatir akan teman yg tentu menghawatirkan saya yang belum pulang padahal sudah menjelang magrib. Di Pasar Festival saya berusaha mencari tempat penjualan ponsel yang juga memiliki charger yang sesuai dengan merek ponselku. Akhirnya saya menemukannya dilantai dasar. Dengan sopan dan berusaha setenang mungkin kucoba meminjam charger ponsel si penjual. Akhirnya ponselku ku charge. Sambil kucharge, ponsel kunyalakan karena khawatir Hal mencari cari saya karena sudah malam belum kembali. Saya yakin dia menelpon saya dan ponsel saya tidak aktif. Dan, betul dugaan saya, begitu ponsel kunyalakan dalam keadaan masih dicharge, langsung berdering. Telepon teman dan dia kebingungan mencari saya dan khawatir terjadi apa apa. Akhirnya, meskipun baterei ponselku belum penuh, saya mencabutnya dan menyampaikan ucapan terimakasih sebesarbesarnya kepada gadis pemilik toko ponsel. Kupanggil taksi dan dengan taksi saya kembali ke unit apartemen teman. Kejadian hanya beberapa jam, namun bagaikan berhari hari. Pengalaman tak terlupakan.
Pelajaran yang bisa dipetik: selain di ponsel, usahakan punya catatan tertulis nomor ponsel teman dan keluarga. Usahakan baterei ponsel dalam keadaan penuh kalau memang akan berada diluar rumah seharian. Kalau sekarang sudah ada “power bank” alat untuk men-charger ponsel atau gadget lainnya secara mobile/portable. Usahakan catat atau ingat semua nomor rumah, nama jalan, no. unit apartemen, lantai berapa, sebelum keluar jalan seorang diri. Terakhir tetaplah berpikir positif….
Sumber Gambar: superstock.com dan manajemenproyekindonesia.com
Saya Suharman Musa, seorang ASN, Pustakawan, suka menulis di Blog, suka jalan jalan, suka dengan hal hal berhubungan dengan buku, bookmark, postcard, dan perpustakaan....
Taman Sari, Yogyakarta
Berkunjung ke Yogya rasanya tidak lengkap jika tidak mengunjungi Taman Sari. Taman Sari adalah tempat pemandian Raja raja Yogyakarta ratusan tahun silam dan sekaligus merupakan benteng pertahanan pada masa perang melawan penjajahan Belanda. Taman Sari sekarang sudah tidak dipergunakan sebagai tempat mandi namun menjadi salah satu destinasi wisata di daerah Yogyakarta yang ramai dikunjungi oleh para turis baik domestik maupun asing. Taman ini terletak disebelah barat daya Kraton Yogyakarta, dan berada didalam benteng Kraton.
Saya dan teman teman kantor berkesempatan mengunjungi Taman ini dua kali ditahun 2013 ini. Bulan Juni lalu, saat kami mendapat tugas dinas ke Yogya, kami berkunjung ketempat ini juga, kemudian akhir November 2013 kembali kami mendapat tugas ke Yogya, dan kami sekali lagi berkunjung kesini. Kalau berbicara soal keindahan, Taman ini tidaklah terlalu istimewa, dibanding dengan taman taman lain di Indonesia. Namun nilai sejarahnya yang luar biasa, membuat kami memutuskan untuk kembali berkunjung ketempat ini kedua kalinya.
Taman Sari dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1758. Pada masa itu tujuan pembangunannya untuk kepentingan rekreasi atau permandian keluarga raja Yogya, dan juga sekaligus berfungsi sebagai benteng pertahanan. Masa itu Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya masih dalam masa pendudukan / penjajahan kolonial belanda. Pembangunan taman permandian ini berlangsung selama 4 tahun dari tahun 1758 sampai tahun 1762.
Taman pemandian ini dibangun diatas bekas pemandian Pachetokan, yang sumber airnya berasal dari alam. Kalau dilihat sekarang ini, ketiga kolam pemandian dalam Taman ini dikelilingi oleh rumah rumah dalam kompleks kraton Yogyakarta. Saya perkirakan ketika pemandian ini digunakan oleh raja, kemungkinan belum ada rumah atau bangunan disekelilingnya. Kemungkinan hanya hutan atau padang rumput saja.
Ternyata dari buku “Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat” yang ditulis oleh Mas Fredy Haeryanto, disebutkan bahwa hanya dua raja berserta keluarganya yang pernah menggunakan pemandian ini. Kedua raja itu adalah Sri Sultan Hamengkubuwono I, dan Sri Sultan Hamengkubuwono II dimana terakhir kali digunakan pada tahun 1812 pada masa akhir pemerintahannya. Taman Sari hanya sempat digunakan oleh dua generasi Raja Yogyakarta.
Konon kabarnya, Taman Sari dibangun seakan akan Istana Air tempat rekreasi Raja dan keluarganya. Sebagai Istana Air, ada laut buatan yang disebut Segaran dan pulau buatan yang disebut Kenanga. Dipulau buatan ini dulunya ditumbuhi oleh bunga bunga kenanga yang wangi baunya. Diatas pulau Kenanga, terdapat bangunan bertingkat dua dengan nama Majethi atau sering juga disebut Cemethi. Tempat ini digunakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I untuk melakukan Semedi/Meditasi.
Di dalam kompleks Taman Sari terdiri dari 3 kolam pemandian dengan tujuan yang berbeda beda yaitu : 1. Umbul Sari, letaknya disebelah selatan, dipergunakan khusus untuk Sultan dan Permaisurinya. 2. Umbul Binangun adalah kolam besar yang terletak ditengah dirangcang untuk permaisuri dan juga selir selir Sultan. 3. Umbul Muncar, terletak diesebelah utara untuk putra putri dan Sentana Sultan. Bangunan lainnya adalah gapura megah. Taman Ledoksari (tempat tidur Raja), Sumur Gumuling atau Mesjid dibawah tanah, dimana kita dapat mencapainya dengan melewati terowongan bawah tanah) yang menghubungkan dengan tempat ibadah tersebut. Bangunan ini berbentuk bulat melingkar dengan sumur dibagian tengahnya. Sebagian dari bangunan di Taman Sari ini hanya reruntuhannya saja. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti gempa bumi, perang, cuaca (curah hujan dan panas matahari) dan juga akar tumbuhan yang menjalar ke dinding. Kondisi Taman Sari sudah tidak lagi seperti semula saat pertama kali digunakan. Namun demikian sebagian masih sempat diselamatkan untuk dipugar kembali dan dipertahankan seperti kolam pemandian raja, Sumur Gumuling, Taman Ledoksari, terowongan bawah tanah, pintu gerbang serta pot pot bunga berukuran besar. Orang orang yang memegang peranan dalam pembangunan Taman Sari ada beberapa sebagai pelaksananya, seperti Pangerang Notokusumo (Paku Alam I), Tumenggung Mangundipuro, Prawirosetika (Bupati Madium) serta orang orang Portugis (Demang Tegis). Arsitektur Taman Sari ini dipengaruhi oleh beberapa unsur kebudayaan, yaitu Jawa Asli, Hindu, Budha, Islam, eropa serta China. Semuanya itu dalam teknik bangunan yang sederhana, tanpa sistem beton bertulang sepeerti sekarang ini. Struktur baanguna terdiri dari batu bata dan semen, dan campran adukan lepanya (perekatnya) dari air legen (air kelapa) dan putih telur. (disarikan dari buku “Mengenal Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat” tulisan Mas Fredy Heryanto) Foto foto: koleksi pribadi. Berita Lain tentang Taman Sari: http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/historic-and-heritage-sight/tamansari/
Saya dan teman teman kantor berkesempatan mengunjungi Taman ini dua kali ditahun 2013 ini. Bulan Juni lalu, saat kami mendapat tugas dinas ke Yogya, kami berkunjung ketempat ini juga, kemudian akhir November 2013 kembali kami mendapat tugas ke Yogya, dan kami sekali lagi berkunjung kesini. Kalau berbicara soal keindahan, Taman ini tidaklah terlalu istimewa, dibanding dengan taman taman lain di Indonesia. Namun nilai sejarahnya yang luar biasa, membuat kami memutuskan untuk kembali berkunjung ketempat ini kedua kalinya.
Taman Sari dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1758. Pada masa itu tujuan pembangunannya untuk kepentingan rekreasi atau permandian keluarga raja Yogya, dan juga sekaligus berfungsi sebagai benteng pertahanan. Masa itu Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya masih dalam masa pendudukan / penjajahan kolonial belanda. Pembangunan taman permandian ini berlangsung selama 4 tahun dari tahun 1758 sampai tahun 1762.
Taman pemandian ini dibangun diatas bekas pemandian Pachetokan, yang sumber airnya berasal dari alam. Kalau dilihat sekarang ini, ketiga kolam pemandian dalam Taman ini dikelilingi oleh rumah rumah dalam kompleks kraton Yogyakarta. Saya perkirakan ketika pemandian ini digunakan oleh raja, kemungkinan belum ada rumah atau bangunan disekelilingnya. Kemungkinan hanya hutan atau padang rumput saja.
Ternyata dari buku “Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat” yang ditulis oleh Mas Fredy Haeryanto, disebutkan bahwa hanya dua raja berserta keluarganya yang pernah menggunakan pemandian ini. Kedua raja itu adalah Sri Sultan Hamengkubuwono I, dan Sri Sultan Hamengkubuwono II dimana terakhir kali digunakan pada tahun 1812 pada masa akhir pemerintahannya. Taman Sari hanya sempat digunakan oleh dua generasi Raja Yogyakarta.
Konon kabarnya, Taman Sari dibangun seakan akan Istana Air tempat rekreasi Raja dan keluarganya. Sebagai Istana Air, ada laut buatan yang disebut Segaran dan pulau buatan yang disebut Kenanga. Dipulau buatan ini dulunya ditumbuhi oleh bunga bunga kenanga yang wangi baunya. Diatas pulau Kenanga, terdapat bangunan bertingkat dua dengan nama Majethi atau sering juga disebut Cemethi. Tempat ini digunakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I untuk melakukan Semedi/Meditasi.
Di dalam kompleks Taman Sari terdiri dari 3 kolam pemandian dengan tujuan yang berbeda beda yaitu : 1. Umbul Sari, letaknya disebelah selatan, dipergunakan khusus untuk Sultan dan Permaisurinya. 2. Umbul Binangun adalah kolam besar yang terletak ditengah dirangcang untuk permaisuri dan juga selir selir Sultan. 3. Umbul Muncar, terletak diesebelah utara untuk putra putri dan Sentana Sultan. Bangunan lainnya adalah gapura megah. Taman Ledoksari (tempat tidur Raja), Sumur Gumuling atau Mesjid dibawah tanah, dimana kita dapat mencapainya dengan melewati terowongan bawah tanah) yang menghubungkan dengan tempat ibadah tersebut. Bangunan ini berbentuk bulat melingkar dengan sumur dibagian tengahnya. Sebagian dari bangunan di Taman Sari ini hanya reruntuhannya saja. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti gempa bumi, perang, cuaca (curah hujan dan panas matahari) dan juga akar tumbuhan yang menjalar ke dinding. Kondisi Taman Sari sudah tidak lagi seperti semula saat pertama kali digunakan. Namun demikian sebagian masih sempat diselamatkan untuk dipugar kembali dan dipertahankan seperti kolam pemandian raja, Sumur Gumuling, Taman Ledoksari, terowongan bawah tanah, pintu gerbang serta pot pot bunga berukuran besar. Orang orang yang memegang peranan dalam pembangunan Taman Sari ada beberapa sebagai pelaksananya, seperti Pangerang Notokusumo (Paku Alam I), Tumenggung Mangundipuro, Prawirosetika (Bupati Madium) serta orang orang Portugis (Demang Tegis). Arsitektur Taman Sari ini dipengaruhi oleh beberapa unsur kebudayaan, yaitu Jawa Asli, Hindu, Budha, Islam, eropa serta China. Semuanya itu dalam teknik bangunan yang sederhana, tanpa sistem beton bertulang sepeerti sekarang ini. Struktur baanguna terdiri dari batu bata dan semen, dan campran adukan lepanya (perekatnya) dari air legen (air kelapa) dan putih telur. (disarikan dari buku “Mengenal Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat” tulisan Mas Fredy Heryanto) Foto foto: koleksi pribadi. Berita Lain tentang Taman Sari: http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/historic-and-heritage-sight/tamansari/
Label:
Kraton Yogyakarta,
Taman Sari,
Tempat Permandian Raja,
Tempat Rekreasi Permandian,
Yogyakarta
Saya Suharman Musa, seorang ASN, Pustakawan, suka menulis di Blog, suka jalan jalan, suka dengan hal hal berhubungan dengan buku, bookmark, postcard, dan perpustakaan....
Langganan:
Postingan (Atom)
Buku Cerdas Sulawesi Selatan, Bunga Rampai Pengetahuan tentang Sulawesi Selatan
Judul: Buku Cerdas Sulawesi Selatan Penulis: Shaff Muhtamar Penerbit: ...
Popular Posts
-
Suku bangsa Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, termasuk dua diantara sedikit suku bangsa di Indonesia yang memiliki tradisi tulis menul...
-
Masih pagi pagi sekitar jam 6 diperumahan tempat tinggalku sudah terdengar bunyi khas terompet penjual Buroncong, salah satu penganan tradis...
-
Kapurung adalah salah satu makanan khas Sulawesi Selatan yang berasal dari Kabupaten Luwu yang ada dibagian utara Provinsi Sulawesi Selatan....