"Nawanawa" dalam bahasa Bugis yang artinya "isi pikiran, curahan hati, apa saja yang ada dalam benak, keadaan bathin dan perasaan......". Isi blog ini adalah apa saja yang ada didalam pemikiran saya, berbagai pengalaman saat melakukan perjalanan, hal hal kecil dalam kehidupan sehari hari. Ada juga beberapa artikel saya terjemahkan dari artikel berbahasa Inggris. "I write because I don't know what I think until I read what I say" -Flannery O'Connor
Bertahan Hidup Tanpa Nasi
Beras adalah makanan pokok dibeberapa negara, antara lain Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, Vietnam, Kamboja dan lain lain. Penduduk Indonesia termasuk pemakan produk produk beras terbesar didunia. Setiap tahun permintaan stok beras nasional terus meningkat. Kebijakan pemerintah akhirnya menginpor beras dari negara negara penghasil beras seperti Thailand dan Vietnam.
Sebenarnya beras bukanlah makanan pokok seluruh penduduk Indonesia. Sebelum era kemerdekaan dan sebelum era Orde Baru, ada sekian banyak suku bangsa di Indonesia yang tidak mengenal beras. Ada suku yang makanan pokoknya adalah jagung, sagu, umbi umbian (kentang, singkong, ubi jalar dll). Era orde baru berusaha mengubah pola konsumsi masyarakat Indonesia secara umum. Pemerintah pusat ketika itu seakan akan mencuci otak masyarakat bahwa hanya beraslah yang merupakan makanan yang ‘bermartabat’ yang lebih bergensi, dan penduduk yang makanan pokoknya bukan beras adalah ketinggalan zaman. Akhirnya, penduduk mulai dari Aceh sampai Papua berusaha keras menanam padi dan kemudian mengomsumsi beras sebagai makanan pokok mereka. Penduduk yang dulunya hanya makan jagung, dipaksa menanam padi. Penduduk yang selalu makan sagu, disuruh untuk makan nasi. Akhirnya sampai sekarang, beraslah yang menjadi tolok ukur kesejateraan rakyat. Kalau anda tidak makan nasi (beras) maka anda termasuk primitif.
Ada sebuah kisah nyata yang terjadi baru baru ini. Seorang ibu dari kampung (di Bone) membawakan sekarung beras kepada anaknya yang sedang menuntut ilmu di Makassar. Saya mendengar si ibu bercerita tentang, betapa beruntungnya anaknya karena masih ada orangtuanya di kampung yang bisa membawakannya beras tiap bulan sehingga si anak bisa tetap “hidup” dan survive. Saya sebenarnya ingin mengatakan kepada ibu itu bahwa, sebenarnya tanpa beras si anak bisa tetap hidup. Begitu banyak sumber karbohidrat yang mengenyangkan di negeri yang subur ini. Tapi argumen itu tidak kusampaikan kepada si ibu.
Saya sendiri punya pengalaman tidak makan nasi dan produk dari beras lainnya selama berbulan bulan ketika bermukim di Australia. Disana sebenarnya cukup banyak beras, baik import dari negara Asia, maupun produk lokal. Tapi harganya mahal, menurut perhitungan saya sebagai mahasiswa yang hidup dari beasiswa. Saya memutuskan untuk menjalani hidup sebagaimana orang Australia lainnya, yang jarang makan nasi. Saya makan roti. Saya sering membeli roti Prancis yang panjang itu, kupotong tiga, untuk dimakan pagi, siang dan malam. Potongang roti Prancis itu kubelah dan kemudian kuisi dengan mayonnaise, saus tomat, daun selada, ikan kalengan, atau telur mata sapi. Saya juga sering masak pasta. Sampai sampai saya hapal nama nama bentuk pasta, misalnya Penne yaitu pasta yang berlubang dan dipotong diagonal, Fettucine: pasta yang berbentuk pita, Rigatoni yang mirip Macaroni tapi lebih besar, Spagetti; pasta yang mirip mie dan juga dikenal di Indonesia, pasta spiral ada juga yang berbentuk seperti dasi kupu kupu (bow-tie pasta) dan lain lain. Kalau bosan dengan pasta dan roti, saya ganti dengan mie instant. Di Sydney, ada satu merek mie instant produk Indonesia yang cukup terkenal, bahkan diiklankan disalah satu stasiun Radio FM di kota Sydney. Dengan pangan non-beras tersebut saya tetap bisa hidup dan tidak kurus. Satu bukti bahwa tanpa beras pun orang bisa hidup.
Anak saya yang pertama juga tidak mau makan nasi sampai dia berumur 5 tahun. Pada saat umur satu tahun dia sudah dikasi makanan tambahan yaitu bubur beras instant yang dibeli toko, tapi ketika giginya sudah mulai tumbuh, dan dibikinkan nasi bubur oleh ibunya, dia menolak. Kembali ke bubur beras instat dia juga menolak. Akhirnya, makanan utamanya yaitu jagung rebus, singkong atau ubi jalar rebus ditambah sambel tomat. Terkadang juga makan ikan saja, tanpa unsur karbohidrat. Ibuku (almarhumah) semasa hidupnya tiap bulan ke Makassar dan selalu ingat untuk membawa singkong dan ubi jalar untuk cucunya. Di kampung (salah satu daerah di kabupaten Bone), singkong dan ubi jalar sangat murah.
Selama anak saya makan jagung dan singkong saja tanpa nasi, berat badannya tetap naik secara normal. Tiap bulan dia ditimbang di Posyandu, grafiknya tetap naik. Malah dikompleks perumahan kami, banyak anak anak yang lebih tua dari anakku tapi badannya lebih kecil, padahal mereka makan nasi tiga kali sehari. Ini adalah bukti kedua, bahwa tanpa makan nasipun kita tetap bisa hidup dan survive. Diversifikasi pangan. Inilah yang harus digalakkan pada masyarakat kita. Negara kita kaya akan pangan sumber karbohidrat. Kita tidak perlu tergantung pada beras yang sering kali dijadikan komoditas politik.
Sumber gambar; bisniskeungan.kompas.com, ceritamu.com, gudegkeprabon.wordpress.com, dhilzone.com
Label:
Beras,
Diversifikasi Pangan,
Karbohidrat,
Nasi,
Padi
Saya Suharman Musa, seorang ASN, Pustakawan, suka menulis di Blog, suka jalan jalan, suka dengan hal hal berhubungan dengan buku, bookmark, postcard, dan perpustakaan....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Buku Cerdas Sulawesi Selatan, Bunga Rampai Pengetahuan tentang Sulawesi Selatan
Judul: Buku Cerdas Sulawesi Selatan Penulis: Shaff Muhtamar Penerbit: ...
Popular Posts
-
Suku bangsa Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, termasuk dua diantara sedikit suku bangsa di Indonesia yang memiliki tradisi tulis menul...
-
Masih pagi pagi sekitar jam 6 diperumahan tempat tinggalku sudah terdengar bunyi khas terompet penjual Buroncong, salah satu penganan tradis...
-
Kapurung adalah salah satu makanan khas Sulawesi Selatan yang berasal dari Kabupaten Luwu yang ada dibagian utara Provinsi Sulawesi Selatan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar